Hutan Adat Keluru Simpan
Seribu Jenis Tanaman Obat
Jambi, 23 Mei 2003
Hutan adat Keluru di Kabupaten Kerinci, Jambi, menyimpan ratusan bahkan
seribu tanaman obat, disamping jenis tanaman lainnya yang bermanfaat
bagi warga setempat. Salah satu jenis tanaman obat tersebut yaitu
tanaman seduduk, berdaun runcing, kecil, digunakan untuk obat gusi
bengkak.
Pengolahan daun seduduk ini yaitu dengan direbus lalu airnya diminum
selama bengkak gusi menyusut hingga normal kembali. Selain daun, buahnya
juga bisa disantap. Bentuknya juga kecil tapi menyerupai kelopak bunga,
berwarna merah. Di dalam kelopak buah terkandung biji yang jika masanya
untuk dikonsumsi akan muncul keluar. Bijinya inilah yang bisa dimakan
dan rasanya manis.
Jumlah tanaman obat yang mencapai seribuan itu,menurut Ketua BPD Desa
Keluru, Ismet Mahmud, dalam mendampingi wartawan Sumbar, Jambi, dan
Bengkulu, menjelajah ke dalam hutan adat Keluru, Kamis (23/5)
berdasarkan hasil survei dari mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor)
yang pernah meneliti ke sana belum lama ini.
Selain seduduk, juga terdapat tanaman empedu kancil untuk mencegah
penyakit malaria. Bagian yang dimanfaatkan dari empedu kancil
ini,bijinya yang berwarna hitam dan hijau,juga berukuran kecil seperti
biji tanaman. Batangnya berukuran sampai satu meter, dengan daun
berbentuk persegi lima juga dalam ukuran kecil.
Buah empedu kancil ini bisa langsung dikunyah jika ingin
mengkonsumsinya. Namun rasanya sangat pahit sekali. Sehingga warga
setempat sering memakannya dengan dibantu air minum alias menelannya
selayaknya tablet obat. Jenis tanaman obat lainnya yaitu bernama bunga
gincu untuk mengobati luka. Kemudian ada juga pohon pua yang dihandalkan
untuk disentri. Batang pohon pua ini diperas, diambil airnya,ada pula
pohon sebu yang dipotong akarnya,lendir akar ditampung untuk panas
dalam.
Potensi tanaman yang tak kalah besarnya di dalam kawasan hutan Keluru
ini adalah pohon kayu pecat yang diperuntukan bagi pembuatan perabotan
rumah tangga. Jenis pohon ini termasuk langka di Indonesia. Ciri kayunya
berwarna-warni,seringkali dijadikan tongkat atau pernak-pernik lainnya
oleh penduduk setempat untuk cenderamata bagi pengunjung yang datang
hutan Keluru. Begitu juga dengan jenis tanaman langka lainnya, yaitu
bunga Bangkai alias Raflesia.
Disamping itu juga terdapat berjenis anggrek dalam hutan Keluru ini,
begitu juga dengan tanaman kemiri dan kayu manis serta bambu. Ada
ketentuan adat terhadap pengambilan hasil hutan Keluru ini, terutama
terhadap warga yang ingin menebang kayu. Bagi perorangan,tindakan itu
tidak dibenarkan. Kayu hanya boleh diambil jika ada pendirian bangunan
untuk umum, misalnya sekolah atau mesjid. Jika ada perorangan warga yang
mengambil kayu dijatuhi sanksi bertajuk Beras 100 Kerbau Seekor.
Tepatnya jika ada salah seorang warga setempat yang menebang kayu,maka
dia dikenai sanksi menyembelih seekor kambing. Dengan sanksi ini umumnya
warga yang dimaksud tak akan berani berbuat lagi, begitu juga dengan
warga lain tak akan berani meniru. Perlindungan terhadap hutan Keluru
juga diberlakukan pada jenis hewannya yang beragam,seperti kijang, babi,
rusa, dan lainnya.
Maka wajar kemudian hutan adat Keluru mendapat beberapa penghargaan
berskala nasional terhadap upaya pemeliharaan hutan berluas 23 hektar
oleh warganya ini. Warga setempat sendiri ekonominya bersandar pada
hasil kebun mereka yang umumnya didominasi tanaman palawija. Hutan adat
Keluru bisa dijadikan contoh pengelolaan hutan adat yang ideal oleh
masyarakat.***
Berita terkait:
Minim, Dukungan Pemda Dalam Legalisasi Hutan Adat
Bupati Bungo Kukuhkan Hutan Adat & Lindung Desa
Setelah 5 Tahun Berjuang,
Wartawan Jambi Dan Sumbar
Cetuskan Perdes Warga Desa Guguk Harap Hutan Adatnya Terjaga Dan Lestari
Masyarakat Kibul Desak Bupati Kukuhkan Hutan Adat
Hutan Adat, Bentuk Implementasi Konsep Zonasi
Warga Desa Pancakarya Mulai Rintis Penguatan Imbo/lubuk Larangan
Hutan Adat Desa Lubuk Bedorong
Latest Posts