Saya sekarang berada di kampung halaman. Lama tak pulang kampung
membuat saya rindu suasana kampung. Entah kenapa hati saya tergerak
untuk menuliskan cerita tentang kampung halaman dan masa kanak-kanak.
Menurut saya masa paling terkesan tetap masa kanak-kanak di kampung
halaman. Masa di mana saya menghabiskan waktu bersama alam, tanpa beban,
tanpa “tanggung jawab” dan tanpa ini itu. Pokoknya mau apa saja
terserah.
Seperti catatan saya bertajuk Bernostalgia Dengan Masa Kanak-Kanak
sebelumnya saya memaparkan cerita yang hanya saya ingat. Tentang hidup
saya di masa lalu yang bisa dibilang tak seperti kebanyakan orang.
Tentang kenangan dengan kawan-kawan, dengan tetangga, dengan alam
pedesaan, dengan suasana kampung, dan dengan semua yang pernah bersua
dengan saya. Banyak kenangan yang tak terlupakan. Semua cerita itu
tinggal kenangan yang tak mungkin dapat terulang.
Semua
orang pasti mempunyai cerita masing-masing. Dan masing-masing cerita
pasti berbeda, karena perjalanan hidup orang itu lain-lain. Adakalanya
yang memilukan, bahagia bahkan ada yang membuat fikiran kita down ketika
mengingat-ngingat kenangan yang menyedihkan. Yang pasti perjalanan
hidup seseorang itu ada dua kemungkinan, bahagia atau sengsara, kaya
atau miskin, disegani, atau dicaci, disukai atau dibenci, dan
sebagainya. Tapi Anda pasti setuju jika saya menyebut perjalanan hidup orang-orang itu adalah perjalanan menuju muara, yakni kematian.
Berbicara
kematian, fikiran saya seolah tak percaya. Orang-orang di kampung saya
yang dulu saya kenal, yang sering bersua, bahkan waktu kecil sering main
dirumahnya telah meninggal beberapa hari lalu. Bukan hanya satu orang
namun dua orang sekaligus dalam satu hari. Saya tidak hendak menyesali
atau menangisi, karena bagi saya kematian adalah sebuah keniscayaan.
Saya hanya tak menyangka ternyata umurnya tak sepanjang yang saya
prediksikan.
Saya
yang jarang pulang kampung seolah merasakan perbedaan di kampung. Mulai
dari segi suasana kampung, orang-orangnya hingga bangunan rumahnya.
Saya tak menyangkal bahwa perubahan itu penting. Perubahan itu adalah
sebuah keniscayaan dan termasuk dalam hukum alam, bahwa manusia itu
mengalami perubahan dan perkembangan. Selagi perubahan itu ke arah
kemajuan dan perkembangan saya memaknainya dengan positif.
Ada
beberapa fenomena menarik di desa saya hendak saya utarakan di sini.
Ini hasil diskusi saya tadi malam dengan seorang kawan ketika ngopi di
depan pasar Sumberrejo. Pertama, di desa saya sekarang lagi
hiruk pikuknya pesta demokrasi. Ada pemilihan kepala desa (Kades). Calon
kades yang akan dipilih nanti ada dua calon. Dan menariknya calon kades
tersebut adalah pasangan suami istri kepala desa lama yang saat ini
masih menjabat. Jadi calonnya ada dua, laki-laki dan perempuan itu pun
suami-istri.
Selama
ini saya baru menemukan sebuah perebutan kekuasaan pemimpin yang
direbutkan oleh pasangan suami istri. Dan ini mungkin hanya di daerah
saya (atau mungkin di daerah lain yang tidak saya ketahui). Menurut
spekulasi saya ini adalah pemahaman demokrasi yang terlalu dangkal.
Memang dalam demokrasi, semua orang berhak untuk mengajukan diri, semua
orang baik laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin, semua berhak
untuk ikut andil dalam pesta demokrasi. Selagi tidak terjerat kasus
hukum atau pernah mengonsumsi obat-obat terlarang. Namun perlu
dicermati, etiskah jika yang memperebutkan adalah pasangan suami-istri?
Analisis
saya, itu adalah bentuk dari politik. Di desa saya yang berminat untuk
menjadi kepala desa sangat minim. Mungkin karena jabatan kades terlalu
berat, mengingat problem desa sangat komplek. Ditambah karakter
masyarakat di desa saya termasuk masyarakat yang sulit diatur. Maka
hanya orang-orang yang memang benar-benar berkompeten yang mau menjadi
kades. Dari pada tidak ada yang mencalonkan diri, mereka mencalonkan
berdua. Itu meminimalkan kemungkinan apabila tidak jadi. Karena jika
calonnya cuma satu musuhnya adalah “bambu kosong”. Namun jika calonnya
ada dua maka kemungkinan yang jadi pasti mereka berdua. Jika yang jadi
nanti laki-laki yang perempuan pasti tetap dipanggil bu lurah, dan
sebaliknya jika yang jadi nanti perempuan yang laki-laki tetap dipanggil
pak lurah.
Selain
itu, tanpa menutup-nutupi dan ini sudah menjadi rahasia umum bahwa
setiap pesta demokrasi pasti tidak bisa dilepaskan dari adanya uang.
Jangankan di desa, di perkotaan juga demikian. Jadi yang punya uanglah
yang berani mencalonkan. Karena orang desa yang kebanyakan bukan dari
kaum berpendidikan tentu pola pikirnya masih rendah. Kalau tidak
diberikan uang mereka tidak akan mau berangkat ke TPS. Bahkan yang unik
mereka minta dijemput. Itulah ironi di negeri ini!
Kedua,
tentang pasangan hidup. Orang desa banyak yang dapat pasangan hidup
orang desa sendiri. Tidak lama ini tetangga sekaligus kawan saya baru
saja menikah dengan tetangga sendiri, tidak hanya satu orang, bahkan ada
dua pasangan sekaligus. Tanpa menafikan bahwa jodoh memang sudah
diatur, saya menganggapnya ini adalah sebuah ekspresi ketidakterimaan. Tidak
terima jika anak desa diperistri oleh orang desa lain. Atau mungkin ada
ikatan emosional antar keluarga dan terkadang ada semacam paksaan,
karena selama ini yang saya amati ternyata pernikahan di desa-desa itu
ada yang melancarkan. Di jawa dikenal dengan istilah “dandan” atau dalam istilah dagang adalah makelar.
Ketiga,
ini sebenarnya masalah klasik terkait dengan tipe masyarakat di desa
saya. Menurut pemaparan kawan saya tadi malam masyarakat desa saya itu
unik, sulit diatur, merasa semua pinter, gampang tersinggung, dan
lain-lain. Memang belum pernah diadakan penelitian tentang tipe
masyarakat di desa saya, namun menurut pengalaman, masyarakat di desa
saya memang tipe masyarakat yang saya sebutkan di atas. Terutama masalah
agama, semua orang merasa sudah pinter sendiri. Sampai-sampai ketika
ada pengajian umum yang mengundang orang luar dan penyampaiannya itu
tidak sesuai dengan fikiran dan keyakinan meraka, akan meraka debat.
Bahkan yang lebih menggelitik adalah ketika menjelang hari raya, posisi
khatib dan imam menjadi bahan rebutan. Dan terkadang diwarnai
permusuhan. Pernah suatu ketika diadakan pemilihan kyai, lantaran banyak
yang menganggap kyai yang sekarang kurang terbuka dan tidak
representative.
Itu
sekelumit cerita saya dari kampung halaman yang mungkin dapat
memberikan wawasan terkait dengan hidup. Bahwa hidup itu penuh warna.
Hidup itu penuh dengan perbedaan dan keunikan masing-masing.