Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...

Latest Posts

Danau Kaca dan Harta Karun Kerinci

Darah bercucuran, kaki saya bolong-bolong. Saya duduk terkapar beralaskan tunggul kayu yang sudah melapuk. Hujan semakin deras saja mengguyur hutan, saya dengan dua teman lainnya hanya berlindung dibawah terpal berukuran satu kali dua meter. Terlalu sempit untuk kami bertiga yang sudah sengsara di hantam hujan dan serangan lawan. Saya menjadi korban terparah dengan total serangan yang saya terima mencapai 37 lubang. Kami sekarang jauh dari desa terdekat, di Danau Kaca Kerinci - Jambi jauh di jantung hutan Taman Nasional Kerinci Seblat.

Air terjun mengalir mengisi Danau Kaco berair biru terang. Saya menahan kaki di akar pepohonan yang dilewati sumber air Danau Kaca. Menahan tripod agar tidak jatuh sembari menunggu alat perekam mengambil gambar. Sementara hujan semakin deras saja mengguyur, saya pun tak kehabisan akal. Kamera tua ini pun saya bungkus dengan kantong kresek dengan moncong diikat dengan tali plastik. Sesekali saya menjilat CPL yang dipasang diujung lensa, menghilangkan air yang menempel. Tapi tetap saja, embun dan air membuat foto yang saya hasilkan sedikit kabur.

Pagi sekali setelah subuh saya tersentak. Udara di dalam rumah Bang Mario terlalu dingin untuk melanjutkan aktivitas. Saya menarik kembali selimut, melipat badan dan berusaha untuk memejamkan mata. Mario juga masih memejamkan mata terayun-ayun oleh udara Semerup yang sangat dingin. Diluar, ayam tidak henti-hentinya berkokok mungkin sembari mencibir saya yang masih enggan untuk duduk. Tapi tidak lama, kami bangkit untuk bersiap-siap meninggalkan empuk nya kasur jika kami meneruskan tidur.

Sebelum pukul tujuh kami bersiap untuk berangkat. Perjalanan kami ke arah selatan menuju Desa Lempur. Dari Semurup menuju Desa Lempur berjarak lebih kurang 55 Kilometer. Meninggalkan Semurup hamparan padi menghijau di kiri kanan jalan. Di kejauhan perbukitan menjulang mengelilingi jalanan menuju Kota Sungai Penuh - Ibukota Kabupaten Kerinci. Letaknya sendiri berada di Provinsi Jambi, jika kita datang dari Kota Jambi jarak perjalanan yang akan ditempuh lebih kurang sembilan jam perjalanan. Saya masuk dari Kota Padang, melewati hamparan teh di Alahan Panjang kemudian menuju Muaro Labuh dan tiba di Kerinci dari arah Kersik Tuo berbalut hamparan perkebunan teh luas dengan payung Gunung Kerinci di sisi kanan jalan. Jarak antara Padang dan Kerinci sendiri hanya menempuh waktu lima hingga enam jam perjalanan. Dengan ongkos bus sebesar Rp 80.000 dari Padang kita sudah bisa mencapai Kabupaten Kerinci.

Memasuki Kota Sungai Penuh saya memperlambat laju kendaraan, kota ini baru saja terbangun dari malam dingin yang baru saja melepaskan kurungannya. Beberapa pemilik toko membuka pintu kayu, anak-anak berseragam sekolah berjalan beriringan menimba ilmu ke sekolah mereka. Saya mengambil jalan lurus kemudian melaju menuju Pasar Sungai Penuh. Di tugu dekat lapangan Kota Sungai penuh kami berbelok ke kiri.

Kami terus saja melaju menuju Desa Lempur. Di pertigaan jalan, ke kiri menuju Kota Jambi dan lurus menuju Lempur kami mengarahkan moncong tanpa membanting stir ke kiri. Tak berapa lama, kami pun melewati hamparan luas Danau Kerinci yang menghidupi lebih dari separuh masyarakat Kerinci. Danau nya menjadi sumber hidup jutaan ikan dan ratusan tambak penduduk. Pinggiran Danau Kerinci yang subur dimanfaatkan sebagai tempat untuk bercocok tanam. Ada yang bersawah secara berkelompok, ada pula yang bersawah secara berkeluarga. Danau ini juga menjadi sumber hidup beberapa spesies burung yang menggantungkan hidupnya dari ikan kecil yang ada didalam danau kerinci.

Saat sore, puluhan anak kecil berlari riang menyusuri danau ini. Beberapa diantara mereka menenggelamkan diri bersama riak danau yang terkurung di ketinggian lebih kurang 700 meter di atas permukaan laut. Danau Kerinci memiliki luas 4.200 m2, dan volume tampungan 1.600 juta m3. Air Danau Kerinci bersumber dari Sungai Batang Merao dan berhilir di Sungai Batang Merangin. Aliran hulu dan hilir danau ini menghidupi ribuan keluarga dan menjadi sumber air utama. Pesona wisata dari Danau Kerinci ini pun tak kalah menawannya.

***

Pukul sembilan pagi akhirnya kami tiba di Desa Lempur. Bang Mario menghubungi Bang Kadafi, penduduk asli Desa Lempur yang akan menemani kami menyusuri Danau Kaco. Saya rasa sangat sulit menuju Danau Kaco tanpa bantuan penduduk lokal. Akses jalan yang masih sulit untuk dilewati, ditambah lagi tidak adanya informasi yang memadai membuat para pengunjung sulit untuk tiba dilokasi ini.

Desa Lempur terlatak di selatan Kota Sungai Penuh. seperti masyarakat Kabupaten Kerinci pada umumnya, mata pencaharian utama penduduk adalah bertani dan bercocok tanam. Di ketinggian Kabupaten Kerinci, Desa ini di karunia tanah yang subur dengan tatanan adat masyarakat yang masih terjaga hingga sekarang. Modernisasi memang tak bisa terelakkan lagi dizaman sekarang. Akses listrik sudah mengaliri seluruh penjuru desa, komunikasi pun mencapai sudut-sudut hutan yang masih mengelilingi Desa Lempur namun kemajuan itu tak sebanding dengan akses jalan yang belum sepenuhnya baik. Hanya itu saja kekurangan Desa ini, selebihnya sudah sangat baik.

Setelah membeli makanan, kami mulai bergerak menuju Tugu Depati Parbo. Jalanan berkerikil, dikiri kanan jalan rumah penduduk membentang lurus mengikut jalan yang kami lewati. Tak berapa lama kami melewati Mesjid Tua yang konon didirikan sejak Islam mulai dianut oleh masyarakat Kerinci. Letaknya sendiri di Desa Lempur Mudik, arsitekturnya bergaya rumah panggung dengan dinding yang diukiri motif serupa bunga. Bahan dasar bangunannya sendiri terbuat dari kayu yang masih tahan hingga sekarang. Tak berapa jauh dari Mesjid Lempur Mudik, saya dibuat heran dengan bangunan kayu yang menyerupai rangkiang (lumbung padi) yang ada di halaman rumah gadang - rumah adat Suku Minangkabau. Ternyata fungsinya juga sama, yang kurang hanya rumah adatnya saja. Bang Kadafi menjelaskan kepada saya salah satu bangunan ini sudah di beli seseorang dan dibawa kesalah satu daerah tujuan wisata untuk dijadikan Bungalow. Saya hanya mengguman saja.

Kendaraan kami melengking keras, jalanan yang diguyur hujan tadi malam begitu licin. Ditambah lagi sudut kemiringan jalan yang lebih dari 45 derajat membuat saya sedikit ekstra hati-hati untuk menekan pedal gas. Terlalu keras, ban kendaraan kami akan slip dan mungkin saja kami akan terpuruk meluncur bebas dijalanan tanah ini. Tapi syukurlah kami selamat dan akhirnya meregangkan tubuh di titik terakhir yang bisa dicapai dengan kendaran dekat Tugu Depati Parbo. Tugu yang dijadikan sebagai simbol perjuangan salah satu pahlawan Kerinci Depati Parbo yang berjuang melawan Belanda di tahun 1901.

Tak jauh dari Tugu Depati Parbo, terdapat bangunan kayu yang dijadikan pondok beristirahat bagi petani. Yang punya pondok ternyata kerabat Bang Kadafi, kami pun meminta izin untuk memarkirkan kendaraan sebelum memulai melanjutkan perjalanan menuju Danau Kaco. Pukul sepuluh kami pun mulai beranjak dari Tugu Depati Parbo.


Air terjun Seluang Bersisik Emas mengalir deras tak jauh dari Tugu Depati Parbo. Airnya jernih dengan tumbuhan menyegarkan mata mengelilingi air terjun. Kami tak berlama-lama, berpacu dengan rintik hujan yang semakin deras turun.

Langit kelabu, tak ada rona biru yang memayungi perjalanan kami. Saya dan kawan-kawan kawatir hujan akan mengguyur perjalanan kami menuju Danau Kaco. Lepas dari Tugu Depati Parbo kami menyusuri jalanan tanah, dikiri kami air sungai mengalir deras melewati hutan-hutan yang penuh dengan berbagai macam aneka ragam tumbuhan. Kami berjalan menanjak, tanah-tanah kuning dengan batu kerikil menjadi pondasi dasar jalan yang kami tempuh.

"Disini ada air terjun tak jauh lah dari tepi jalan. Kalau sudah balik nanti takutnya sudah malas ke air terjun. Bagus sekarang dulu kesana." Bang Kadafi mencoba meyakinkan saya dan Bang Mario menuju air terjun sebelum melanjutkan perjalanan menuju Danau Kaco. Bang Kadafi menebaskan parangnya memotong akar-akar melintang yang menghalangi jalan kami menuju pinggi air Terjun. Tak berapa lama setelah melewati hutan dengan akr melintang menghalangi jalan kami pun tiba di tepi tebing.

"Ini air terjun Seluang Bersisik Emas, air nya segar. Kita turun ?". Bang Kadafi kembali menanyakan kembali apakah saya dan Bang Mario turun ke tepi air terjun. Tentu saja, hajar.

Kami menuruni tebing dengan hati-hati. Jelatang, tumbuhan yang membuat gatal kulit membuat saya sedikit was-was menuju tepian air terjun. Suara air terjun bergemuruh, airnya mengalir deras dari puncak tebing. Saya mencelupkan tangan kemudian membasuh muka. "Dinginnnn....wwwoooooo" saya berteriak saat aliran air terjun ini menyapu muka.

Hampir dua puluh menit kami menikmati air terjun Siluan Bersisik Emas, kamipun melanjutkan perjalanan menuju Danau Kaco. Rintik hujan mulai menemani langkah menyibak jalanan tanah. Kami terus berjalan menyusuri jalanan, beberapa kali jalanan terbelah karena aliran sungai kecil. Air nya jernih dengan suhu yang lumayan rendah.

Setelah berjalan lebih dari satu jam, hujan mengguyur deras. Kami berteduh dibawah pohon besar menjulang. Rata-rata pohon yang ada di jalan menuju Danau Kaco ini tinggi menjulang. Adanya tradisi dan larangan bagi masyarakat untuk menebang hutan menjadi salah satu faktor yang menjadikan hutan disini tetap terjaga. Dari Bang Kadafi saya mendapatkan penjelasan mengenai larangan atas betung (bambu berdiameter hingga 15 centimeter) yang ditebang di dalam hutan untuk diperjualan belikan keluar wilayah Lempur. Di desa yang jauh dari hingar bingar kendaraan yang berlalu lalang ini, sanksi adat atas perusak hutan masih berlaku. Para perusak hutan akan menerima sanksi atas perbuatan mereka merusak alam. Tak pandang bulu, siapapun yang merusak hutan akan ditindak dan diberi sanksi atas perbuatannya.

Pohon Meranti tempat kami berteduh tingginya hampir lima puluh meter. Diamater batangnya saja lebih dari satu setengah meter. Butuh tiga orang dewasa untuk memeluk penuh lingkara batangnya. Ini tak satu, dari perjalanan tempat kami berteduh menuju titik terakhir jalanan yang lebar terdapat pohon yang mungkin umurnya sudah sangat tua. Akarnya menjalar kemana-mana. Di dahannya bisa dijadikan tempat bermalam. Salah satu producer televisi asing menjadikan pohon ini sebagai bagian dari scene dalam filmnya. Ceritanya sendiri tentang petualang yang tersesat di Sumatra. Cocok sekali pohon itu dijadikan tempat untuk tinggal. Mengingat pohon ini saya teringat film Avatar, persis.

Jalanan berlumpur, saya melumuri kaki saya dengan lumpur supaya pacet tidak menggigit. Tapi apa daya, kaki saya tetap saja terkena serangan hingga 37 gigitan. Sialan !

Kami berjalan terus melewati jalanan rusak. Berkali-kali kaki saya terperosok lumpur. Air menggenangi jalanan yang kami lewati. Saya mengambil ranting di tepi jalan sebagai tongkat bantuan berjalan. Bang Kadafi dan Bang Mario berjalan di barisan depan. Saya mengikuti ditengah guyuran hujan yang membasahi kami.

Tiba-tiba kaki saya merasa gatal. Saya rasa ini karena lumpur yang saya injaki tadi. Jeda sejenak sayapun mengambil kesempatan untuk melihat aoa gerangan yang ada di kaki. Sialnya ini ternyata bukan masalah lumpur yang menyebabkan kaki saya menjadi gatal. Beberapa onggok makluk hitam yang sudah membesar seukuran kelingking menempel kuat dikulit kaki saya. Pacet ini dengan lahapnya menggemukkan badan dari darah saya. Keterlaluan saya mendapat serangan pacet. Bang Kadafi mengingatkan saya kalau daerah yang kami lalui banyak sekali pacet, terutama saat hujan seperti sekarang ini. Diantara kami bertiga, hanya saya yang nekat memakai sandal gunung tanpa kaos kaki. Ini semakin memudahkan pacet untuk menempel dan menghisap cairan darah dari tubuh saya.

Perjalanan semakin menantang, diantara serangan pacet dan guyuran hujan kami terseok-seok menembus rindangnya hutan. Beberapa kali jaket hujan saya tersangkut di akar berduri yang melintang menghalangi jalan. Saya harus menebaskan ranting kayu untuk melewati jalan setapak supaya tidak terkena duri. Lepas dari hutan yang ditumbuhi akar berduri kami tiba di tepian sungai. Penduduk lokal menamainya dengan Sungai Majunto. Alirannya deras karena hujan di hulu sungai. Kami menyusuri batang sungai setelah beristirahat sejenak di bawah pohon bambu. Saat beristirahat saya berhasil memukul mati 3 ekor pacet yang hampir saja menghabisi selangkangan saya. Untunglah rasa gatal membuat saya mengetahui serangan pacet ini dengan cepat.


Hutan bambu dalam perjalanan menuju Danau Kaca di Taman Nasional Kerinci Seblat - Kerinci, Jambi.

Kami menyebarang dengan bantuan bambu-bambu yang hanyut terbawa aliran Sungai Majunto. Tapi syukurlah dengan rahmat hutan Taman Nasional Kerinci Seblat yang maha dahsyat kami pun tiba diseberang.

Selepas menyisiri sungai jalanan semakin tak jelas. Bang Kadafi harus menebang perdu yang menghalangi jalan kami. Butuh waktu untuk menebas perdu dan tumbuhan menjalar lainnya. Kami tiba di hutan bambu. Ini kali pertama saya melihat hutan bambu luas. Dasar tanah tertutup oleh daun-daun bambu menguning. Sekeliling kami hanya ada pohon bambu. Beberapa batangnya sudah patah melintang dari satu rumpun bambu ke rumpun lainnya. Saya membayangkan jika cuaca cerah, tempat ini mungkin bakalan menjadi tempat menyenangkan untuk mendirikan tenda dan bermalam.

Dari hutan bambu kami terus berjalan melewati jalan setapak. Bang Kadafi mengatakan usai hutan bambu kami akan menyeberangi melewati jembatan swadaya. Namun saat tiba di bibir sungai jembatan sudah hanyut dibawa arus sungai. Kali ini tak ada lagi jembatan bambu, di depan kami terbentang sungai deras yang bisa saja menghanyutkan kami kehilir. Jarak terdekat supaya bisa menyeberang adalah serumpun bambu yang ada ditengah sungai. Rumpun bambu ini hanyut terpisah dari rumpun yang besar. Jaraknya sekitar dua meter dari tepi sungai. Bang Kadafi tak kehabisan akal, bambu berdiameter lima belas centimeter dijadikan jembatan darurat untuk mencapai rumpun bambu di tengah sungai.

Bang Kadafi menjadi pioneer membuka jalan sedangkan saya dan Bang Mario melongo saja sembari berdaa bambu yang dipijakinya tidak patah. Berhasil, Bang Kadafi pun sudah tiba di atas rumpun bambu. Ini giliran saya dan Bang Mario untuk menyeberangi, kami memasukkan semua peralatan kami kedalam plastik besar - jaga-jaga jika kelak bambu yang kami pijaki rubuh minimal barang-barang elektronik kami masih bisa terselamatkan. Saya memakul plastik berisi perlengkapan elektronik. "Hup..ow..ow" saya berusaha menjada keseimbangan melewati bilah bambu yang bergoyang kencang. Sekarang posisi saya diatas rumpun bambu tepat di tengah sungai. Giliran Bang Mario yang beranjak dari pinggiran ke tengah sungai. Di depan Bang Kadafi mulai meniti rebahan pohon untuk tiba diseberang. Bambu yang kami injaki berdenyit. "Ngit...ngit...kreeek". Bang Kadafi hampir saja terpeleset hanyut kehilir. Batang kayu yang diinjakinya terlalu licin, tapi syukurlah kejadian yang tidak kami inginkan tak terjadi. Saya sedikit gamang mengikuti jalan Bang Kadafi. Dengan merangkak saya berjalan pelan di atas bambu dan batang pohon yang menghubungkan tengah sungai dengan tepian seberang. Berhasil saya tiba di seberang.

Perjalanan kami lanjutkan menuju danau kaca melewati tepian sungai. Arus sungai menggusur pinggiran jauh hingga ketepi. Mungkin kemarin atau tadi malam arus sangat besar. Kami makin jauh saja memasuki hutan Taman Nasional Kerinci Seblat ini. Hutan dengan luas membujur- di empat provinsi dan 14 kabupaten itu telah ditetapkan sebagai hutan hujan- warisan dunia oleh UNESCO pada 2004. Di lahan seluas 1,36 juta hektare itu terdapat 306 spesies burung, 42 spesies mamalia, 8 spesies primata, dan 40 spesies amfibia. Hutan ini juga dihuni tujuh spesies kucing hutan langka, mulai dari macan pohon sampai harimau sumatera (Panthera tigris sumatrensis) yang endemik.

Ada 2.000 sampai 3.000 spesies tumbuhan di sana. Di antaranya adalah meranti (Shorea atrinervosa), rotan (Cala-mus leoli), bunga Rafflesia dari jenis Rafflesia hasseltii dan Rafflesiaarnoldi, gaharu (Aquilaria spp), dan pohon pacat (Harpulia arborea). Di dalam hutan juga tumbuh 300 spesies anggrek.

Pacet semakin garang saja menyerang kaki, saya kekurangan darah akibat serangan bertubi-tubi ini. Kaki yang berlumpur segera saya basuh saat bertemu aliran sungai kecil. Saat air bersih sudah menyapu lumpur, pacet yang menempel dikaki saya semakin jelas. Kali ini terkenan gigitan puluhan pacet. Saya mengumpat dalam hati, sambil membinasakan pacet ini dengan tembakau rokok. Pacet tidak suka tembakau, selalin membakar nya dengan pemetik api salah satu cara untuk mengabisi pacet adalah melumuri badannya dengan tembakau. Dan saya menggabungkan kedua cara tersebut, meskipun kejam tapi ini harus.

Empat puluh menit setelah menyeberangai sungai kami masuk semakin dalam ke hutan. Suasana semakin gelap, saya teringati film petualangan "Jurasic Park" dimana para bintangnya bertemu dengan Dinosaurus. Saya membayangkan di hutan seperti ini bukannya bertemu Dinosaurus, tapi Harimau Sumatra atau Beruang yang notabene Taman Nasional Kerinci Seblat yang kami masuki ini adalah salah satu habitat hidup harimau dan hewan liar di Sumatra. Namun dua satwa tersebut tidak perlu ditakuti secara serius, musuh terbesar ternyata hewan kecil yang menyerang penuh nafsu. Pacet, ini menjadi musuh nyata. Tak bisa dihindari seranganya meskipun sudah saya antisipasi melumuri kaki dengan lumpur.

Bang Kadafi berjalan cepat, saya dan Bang Mario mengikuti dengan langkah terburu-buru dari belakang. Langkahnya kami terhenti di tepi tebing. Saya misuh, di bawah tebing didepan kami terhampar Danau yang tak terlalu luas. Air nya jernih bak kaca, saya bisa melihat dasar danaunya. Saya menahan nafas sejenak. Kemudian berteriak lagi. Bayangkan, di tengah hutan tak ada manusia lain seperti kami. Terhampar danau indah, bak menemukan harta karun saya senang sekali.

Tanpa pikir panjang Bang Kadafi menuruni tebing dibantu batang rotan. Tanpa batang rotan, mustahil kami bisa tiba ditepian danau. Tebing yang sangat curam sulit sekali untuk diinjaki. Saya tanpa sabar menggelinding tergelincir karena terlalu bersemangat untuk menyentuh air danau. "Gedebuk...." celana saya menghitam akibat terpeleset di tanah. 

Danau Kaca, menyimpan misteri di dasarnya. Banyak penduduk lokal yang bilang ada harta karun. Tapi siapa yang tahu ?

Hujan mengguyur semakin deras saat kami menyentuh bibir Danau Kaca. Air danaunya begitu tenang, dinding dasar danau menjorok kadalam. Polanya seperi kendi, luas permukaan kecil sedangkan semakin kedalam semakin luas. Pohon-pohon tumbang membelintang di permukaan danau, sementara ikan-ikan kecil berenang diantara ranting-ranting yang terbenam. Jauh diseberang, air terjun kecil mengaliri air yang tak pernah habis. Di sekeliling danau pohon-pohon besar memagari danau ini. Tempat saya berdiri diatas beberapa bilah kayu adalah tempat menyeberang ke area datar bekas tempat para pecinta alam melakukan perkemahan. Dibawah bilah kayu yang saya pijaki mengalir deras aliran air danau yang berhilir di Sungai Majunto.

Lepas meresapi sisi-sisi disekitar danau kami mencari beberapa bilah kayu. Hujan yang semakin deras membuat kami harus cepat membuat tempat untuk berteduh. Untung saja Bang Kadafi membawa plastik untuk melindungi kami dari terpaan butiran hujan. Kami memancangkan untuk mengikat tali plastik yang disambungkan dengan terpal. Kami bekerja cepat mengingat kondisi kami sudah menggigil.

Tenda sudah didirikan barulah saya sadar ternyata saya dalam kondisi banyak kehabisan darah. Cairan merah pekat bercucuran, kaki saya bolong-bolong. Saya duduk terkapar beralaskan tunggul kayu yang sudah melapuk. Hujan semakin deras saja mengguyur hutan, saya dengan dua teman lainnya yang berlindung dibawah terpal berukuran satu kali dua meter. Terlalu sempit untuk kami bertiga yang sudah sengsara di hantam hujan dan serangan lawan. Saya menjadi korban terparah dengan total serangan yang saya terima mencapai 37 lubang. Saya mungkin tak bernyawa lagi jika mendapat serangan 37 lubang dari selongsong senapan. Tapi syukurlah ini hanya serangan pacet, binatang kecil dihutan terpencil yang jarang merasakan nikmatnya darah anak muda. Saya bangkit menyapu semua darah dengan air Danau Kaca. Darahnya hilang, tapi gatalnya semakin merasuk kulit sekarang kaki saya penuh dengan bekas serangan lawan.

***


Kami merebus air dari danau, menyeduh kopi dan memasak mie instan. Hal yang harus segera dilakukan adalah mengganjal perut yang sudah keroncongan. Nasi putih yang kami beli di Desa Lempur tadi menjadi amunisi untuk tetap bertahan di tengah hutan dengan hujan yang makin mengguyur deras. Mie instan kami jadikan sebagai sayur supaya nasi yang kami makan tetap hangat. Sembari makan kami bercerita tentang danau ini.

Salah seorang warga Desa Koto Payang menjadi korban dari Danau ini. Keinginan yang besar penduduk desa tersebut untuk menemukan harta karun berupa intan didasar danau ditenggarai telah menjadikan dirinya tumbal atas perbuatannya sendiri. Pinggir dasar danau dikeruknya untuk mengeringkan air, namun apa daya air danau tersebut tak kunjung kering. Air malah terus mengalir dari dasar danau. Sang pencari harta karun tersebut kewalahan dan menderita sakit keras, tak berapa setelah penggalian tersebut sang pencari harta karun tersebut pun meninggal dunia. Warga setempat mengaitkan dengan tempat ini sebagai tempat yang berpenghuni.

Sebenarnya tidak ada yang tahu persis apakah dibawahnya ada harta karun atau tidak. Cerita adanya harta karun yang ada di dasar Danau Kaca ini adalah cerita turun-temurun dari warga desa. Alkisah dahulunya seorang Raja beranama Raja Gagak memiliki Putri yang sangat rupawan, berparas manis dan menarik perhatian semua orang. Ya kalau menurut saya mungkin serupa Laura Basuki kali ya. Putri Raja itu bernama Putri Napal Melintang, dicintai para lelaki dan semua raja yang ada di Kerinci.

Karena pesona Putri Napal Melintang ini, banyak raja yang datang melamar  anak Raja Gagak. Tak jarang diantara mereka membawa perhiasan intan berlian sebagai pelunak hati Raja Gagak agar anaknya mau dikawinkan dengan sang raja pelamar pembawa intan berlian. Raja Gagak menerima setiap pelamar yang datang, tak terhitung banyaknya. Sampailah akhirnya, Sang Raja kewalahan untuk memilih lamaran siapa yang akan dipilih. Sedangkan intan sudah barang melimpah, Raja Gagak bingung akhirnya disembunyikan lah intan ini di Danau Kaca.

Puluhan kurun waktu, masyarakat percaya bahwa danau ini akan bercahaya di saat malam hari tiba. Cahaya ini diyakini bersumber dari intan dan harta karun yang ada di dalam Danau. Saya sendiri masih kurang yakin kalau danau ini akan bercahaya saat malam hari tanpa melihatnya secara langsung.  Tak mungkin di tengah kondisi gelap danau ini akan bercahaya begitu saja. Kecuali di saat bulan purnama mungkin masih masuk akal. Tapi saya pun belum terlalu yakin jika saat purnama danau ini akan bercahaya kecuali melihat dengan mata kepala saya sendiri.

Lepas dari itu semua, tak terasa makanan yang kami bawa terlalu banyak untuk kami habiskan bertiga. Saya mengambil beberapa bingkah roti untuk diberikan kepada ikan yang ada di Danau Kaca. Ikan-ikan kecil itu pun saling berebut makanan.

ujan sepertinya tidak akan reda jika melihat tanda-tanda yang ditunjukkan oleh alam. Menunggu hujan reda mungkin tak akan mungkin. Saya bertanya kepada Bang Kadafi apakah mungkin untuk menyeburkan diri di danau ini. Tentu saja ujar Bang Kadafi yakin. Tanpa pikir panjang saya berjalan meniti kayu rebah di dasar danau. Sempat terbesit untuk membatalkan rencana saya terjun ke dasar danau tapi keburu telat. Saya menyingkirkan pikiran aneh-aneh yang bergelayut dalam benak. Saya memilih melompat bebas "byurrrrr.....". Saya berteriak....haha akhirnya.

Saya berenang ke tepian. Ternyata ada yang lupa, foto ! Saya meminta kawan saya untuk mengabadikan foto saat saya meloncat ke dasar danau. Lumayan untuk kenang-kenangan. Lepas dari loncat bebas ke dasar danau saya mengambil beberapa foto Danau Kaca meskipun hujan semakin deras mengguyur. Saya mengakali kamera saya dengan membungkusnya dengan kantong kresek kemudian di moncong lensanya saya ikati dengan tali plastik agar kantong kreseknya tidak terlepas.

Saya berjalan mengelilingi danau. Posisi terbaik untuk megambil foto danau ini adalah diatas air terjun yang mengalir menuju danau. Aliran air ini begitu indah dengan pandangan tepat menuju dasar danau. Saat saya mengambil beberapa dari atas air terjun, kegamangan saya begitu terasa. DI depan saya berhadapan langsung dengan dasar danau. Lepas dari air terjun kami mendaki terbing ayng bersebarangan dengan tempat kami mendirikan tenda plastik. Pemandangan dari sini lebih menawan. Akar-akar menggantung bebas menjadikan danau ini semakin indah dalam kebisuan dasarnya.

Pukul lima kami bergegas, kami sudah agak telat untuk berbalik. Jika hujan deras di hulu bisa saja jembatan darurat dari batang bambu tadi hanyut terbawa arus. Ini artinya dalam kegelapan kami akan menyeberangi sungai. Sebelum meninggalka danau, saya memasukkan air danau kedalam botol plastik. Hitung-hitung mengikuti omongan peduduk lokal kalau air danau ini banyak khasiatnya.

Kami bergegas melangkahi sungai-sungai kecil. Hari semakin gelap, melewati sungai kami agak sedikit was-was akan terperosok kedalam sungai. Tapi syukurlah kami selamat. Pukul delapan malam kami tiba di Tugu Depati Parbo setelah berjalan tanpa dibantu penerangan yang cukup. Penerangan kami hanya cahaya dari layar telfon genggam. Hujan tetap saja mengguyur, saya terengah saat mencapai tugu tempat kami memarkirkan kendaraan. Saya dan kawan-kawan memang tidak menemukan intan seperit yang diceritakan oleh penduduk. Tapi setidaknya saya menemukan pengalaman yang luar biasa di Kerinci. Terima kasih Bang Mario dan Bang kadafi.

Menuruni tebing dengan bantuang rotan.

Leave a Reply