KabarIndonesia -
Setelah dua kali naik pesawat dari Jakarta, empat jam menembus hutan
Kalimantan, barulah bisa ditemui yang namanya hutan adat Sungai Utik.
Didalamnya lengkap ada rumah panjae (panjang), sungai jernih dengan
perahu kecil, suara satwa, tuak, babi, sawah, kebun, hutan luas dan
orang-orang suku Dayak Iban. Asing sejenak rasanya, ketika aura itu
tiba-tiba menyergap semua indra yang ada. Sebab teramat jauh berbeda
dengan riuh perkotaan, yang rasa-rasanya belum lama ditinggalkan.
Bersama Pak Bandi, atau dikenal sebagai Pak Janggut, Tetua Adat di rumah
panjang itu saya mulai memahami sedikit-sedikit kondisi disana. Berawal
dari beberapa nama asing khas bahasa Dayak Iban, hingga tata aturan tak
tertulis yang ada disana. Setelah satu malam menginap, Pak Bandi yang
memang memiliki janggut tipis tapi panjang mengajak melihat hutan adat.
Enteng saja lelaki yang sudah penuh keriput itu bertelanjang kaki ke
arah hutan. Kira-kira tiga kilometer berjalan, Pak janggut memutuskan
membelok ke arah sungai kecil. Tak ada jembatan disana, tapi Pak Bandi
dengan tangkas membuatnya. Dengan sedikit keseimbangan lewat sudah aral
tersebut. Sekarang didepan kami terbentang hutan hijau bernuansa lembab.
“Ini baru daerah hutan adat kami yang paling pinggir,” kata Pak
Janggut, dengan logat Dayak, awal bulan Agustus 2008 lalu.Cukup kaget
juga mendengar kata-kata pak Janggut, yang terus menerobos hutan tanpa
jalur di depan kami. Pasalnya kondisi hutan yang disebut pinggiran ini
saja sudah sedemikian lebatnya. Lalu bagaimana dengan wilayah intinya?
Benar juga mungkin, hasil riset sekunder saya sebelum menjejak di hutan
ini. Dari riset tersebut beberapa mengatakan kalau hutan adat di sungai
Utik, merupakan salah satu hutan adat terbaik yang tersisa di bumi
Indonesia saat ini. Pantas bila kemudian Lembaga Ekolabel Indonesia
(LEI) memberikan anugrah sertifikasi ekolabel kepada pengurus hutan adat
ini. Humus terasa tebal dan basah menutupi kaki. Sepatu yang dipakai
sampai terasa lembab. Sementara lumut bertebaran disana-sini. Warna
hijaunya memenuhi batang-batang akar yang mencuat, hingga ke batang
besar pepohonan. Di salah satu batang pohon jelutung besar, Pak Bandi
menancapkan mandau-nya. Dari cacat akibat bacokan mandau, terlihat
getah putih meleleh. Turun merembes melewati daun-daun kecil disela
lumut. “Hutan adalah sumur dunia. Dari hutan ada banyak air keluar,
tanah juga terjaga. Tanpa tanah kita bukan apa-apa,” ujar Pak Janggut,
menjelaskan mengapa mereka memilih menjaga hutan adat ketimbang
menjualnya kepada pengusaha.
Sebuah keputusan yang tak terduga.
Diantara era konsumerisme dan desakan ekonomi yang menggejala saat ini.
Ada sekelompok orang lebih memilih menjaga hutan, menggunakan dan
mengambil manfaat seperlunya saja. Dengan pilihannya, mereka rela harus
dicibir atau diperlakukan tak normal. Seperti tak tergoyah dengan
kepungan hutan adat lain yang terlanjur terjual, hutan adat sungai Utik
tetap tak banyak berubah. Tercatat ada tiga perusahaan penebangan kayu
kini mengepung kawasan adat mereka. Tiga perusahaan tersebut adalah PT
Benua Indah, PT Bumi Raya Utami WI, dan PT Landjak Deras Jaya Raya.
Perusahaan yang terakhir diklaim merupakan investasi oleh investor dari
Malaysia, dan mengirimkan kayu-kayunya ke Malaysia. Seperti itu memang
motif tentang pemanfaatan hutan yang ada sekarang. Tak pelak, kebanyakan
kaum adat di Kalimantan juga goyah dengan iming-iming keuntungan jangka
pendek bila mereka mau menjual hutannya. Uang cepat, yang kadang
dijadikan solusi alasan kebutuhan mendesak bagian perut. Hutan adat
memang terhitung miris keadaannya di Indonesia kini. Kebijakan yang
tumpang tindih, mengakibatkan tak adanya pengakuan. Hutan adat seperti
berdiri sendiri-sendiri, dipayungi dengan kebijakan pemerintah yang
compang-camping disana-sini. Menurut studi Yayasan Cakrawala Hijau
Indonesia (YCHI), tahun 2003 lalu ditemukan banyak kasus HPH (Hak
Pengusahaan Hutan) saat ini telah merambah tanah kawasan Adat. Hutan
adat ini menurut pemerintah adalah hutan negara yang boleh diapakan saja
oleh pemerintah, tanpa memandang: keberadaan tata guna lahan (land use)
dan sistem penguasaan tanah (land tenure) yang telah dipakai masyarakat
setempat secara turun temurun tanpa adanya konflik yang berarti. Data
tersebut diperkuat dengan input dari Departemen Kehutanan tahun 2000
lalu. Paling tidak tercatat ada 652 HPH berada di wilayah adat. Luasan
dari ratusan HPH tersebut mencapai 69,4 juta hektare. Hingga Januari
2000, dari berbagai kegiatan HPH tersebut diidentifikasi setidaknya 28
persen, atau sejumlah kira-kira 11,7 juta hektare hutan adat rusak. Kini
menurut data citra satelit diperkirakan kawasan hutan tersebut telah
menjadi tanah kosong atau rerimbunan semak belukar. Keuntungan jangka
pendek memang didapat dari upaya pembukaan hutan tersebut. Kayu-kayu
bisa dijual, atau berkembangnya industri pengolahan kayu disana. Namun
secara jangka panjang pembukaan hutan tersebut sebenarnya menimbulkan
kerugian. Seperti contoh kasus pohon Tengkawang (Shorea spp) di Utik.
Pohon yang memiliki jenis kayu kelas tiga ini memiliki daun yang rimbun
dan dahan yang banyak. Bila kayu pohon ini dijual dengan harga paling
murah saat ini, bisa seharga Rp 1 juta perkubik. Kalau memang beruntung
bisa jadi satu pohon menghasilkan kayu sebanyak setengah kubik. Berarti
perlu empat pohon kayu untuk mendapatkan Rp 2 juta. Sementara bila mau
pintar, sebenarnya buah dari pohon tersebut bisa dijual lebih mahal.
Pohon yang sudah mulai berbuah biasanya pohon yang sudah berumur diatas
10 tahun. Jika pohon Tengkawang berbuah, satu buahnya bisa seberat satu
bleg. Ukuran satu bleg setara dengan ukuran berat satu kaleng cat
sedang. Berati bisa sekitar lima kilogram beratnya perbuah Harga satu
kilo buah tersebut, kalau sudah dikeringkan atau dikupan kulitnya
sekitar Rp 4000. Sementara buah yang masih dibilang basah, atau belum
diproses justru lebih mahal, mencapai harga Rp 10.000 per kilo.
Untuk
kawasan hutan adat seperti milik Dayak Utik, tiap keluarga bisa
memiliki 5-10 pohon Tengkawang yang telah hidup puluhan tahun. Bila
panen satu pohon bisa berbuah hingga 500 bleg. Berarti kalau memiliki 10
pohon, bisa mendapat 5000 bleg buah Tengkawang. Dengan jumlah sebanyak
itu, ketimbang menjual kayu pohon dengan harga Rp 2 juta kemudian hilang
begitu saja. Lebih baik menjual buah, dengan harga mencapai Rp 2 juta
per 500 bleg, namun masih bisa dipanen lagi beberapa kali setelahnya.
Contoh lainnya merupakan kekayaan tanaman obat dari hutan alami. Seperti
hutan adat Keluru di Kabupaten Kerinci Jambi, yagn diperkirakan
menyimpan ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat. Salah satunya
merupakan obat gusi bengkak yang bisa disembuhkan dengan tanaman seduduk
yagn berdaun runcing dan kecil. Biasanya daun Seduduk akan direbus,
kemudian diminum airnya. Selain daun buah Seduduk juga bisa disantap.
Biji dalam buah Seduduk yang berwarna merah akan terasa manis. Unik
serta jarang juga bisa menyantap buah ini, sehingga harganya bisa
dipastikan makin mahal. Selain Seduduk banyak jenis tumbuhan obat hidup
di hutan adat Seluru. Seperti tanaman empedu kancil, yang bisa mencegah
timbulnya malaria. Pohon ini memiliki biji berwarna hitam dan hijau,
dengan batang berukuran satu meter. Daunnya biasanya kecil dengan bentuk
persegi lima. Buah empedu kancil bisa langsung dikunyah sebagai obat.
Namun jangan kaget dengan rasanya, yang sangat pahit sekali. Kalau orang
kampung dekat hutan tersebut biasanya memakan buah dengan meminum air
juga, agar hilang rasa pahitnya. Jenis tanaman obat lain adalah bunga
gincu. Biasanya tumbuhan ini untuk mengobati luka. Ada juga jenis pohon
sebu yang diambil akar dan keluaran lendir di dalam akar dimanfaatkan
sebagai obat panas dalam. Sementara pohon Pua dimanfaatkan untuk obat
penyakit disentri. Potensi lain yang bisa didapat dari hutan adat Keluru
adalah wisata melihat bunga Bangkai atau Rafflesia, yang kadang tumbuh
liar di kawasan hutan tersebut. Disamping terdapat juga beberapa jenis
anggrek, kemiri dan kayu manis serta bambu. Mungkin berjuta-juta
contoh lain bisa ditampilkan. Namun tetap saja, keadaan saat ini seperti
terus mendesak orang, hanya memanfaatkan hutan secara jangka pendek.
Semua pohon inginnya ditebang saja. Sementara manfaat lain, seperti
buah, atau akar sebagai obat
Sepertinya saat ini kita memang telah
salah memilih jalur dalam pemanfaatan hutan. Pembukaan lahan
besar-besaran dalam rangka penyebaran manusia, atau pemenuhan kebutuhan
dasar dengan menggunakannya sebagai tempat pertanian, pada akhirnya
tidak terbukti bisa menyelamatkan hutan. Lahan sejuta hektare kini hanya
menjadi rerimbunan saja, bila melihat melalui pesawat udara. Ilalang
yang tumbuh sebagai pengganti hutan alami disana, menjadi sumber
kebakaran hutan tiap tahun di Indonesia. Kebakaran hutan kemudian
diketahui sebagai salah satu penyumbang karbondioksida terbesar
diangkasa. Dimana karbondioksida yang berlebihan malah menjadi biang
terperangkapnya sinar matahari di dalam bumi. Panas yang terperangkap
tersebut, menaikan temperatur rata-rata di bumi. Makin ke depan, angka
pemanasan global makin mendaki, menyebabkan sumber-sumber air menjadi
hilang, glasier-glasier es mencair, laut bertambah tinggi,
menenggelamkan bumi. Pemanasan global juga menyebabkan tumbuhan-tumbuhan
mati, satwa yang rapuh menjadi punah. Hingga kemudian menyebabkan
rantai makanan menjadi makin ganjil. Salah satu ujung dari rantai
makanan tersebut, yaitu manusia pada akhirnya yang akan menerima
akibatnya. Pemanasan global juga menyebabkan perubahan iklim. Badan dan
hujan bergantu-ganti terjadi dan makin membesar serta tak terkendali.
Pola musim hujan dan kering berbeda. Pergeseran musim menyebabkan
perubahan perilaku budaya dan menanam bagi para petani. Pola hujan badai
yang makin parah, juga akan merugikan bagi angkutan perairan, selat
atau antar pulau. Selain juga para nelayan yang akan makin mengorbankan
nyawa. Lalu ketika ada sekelompok masyarakat adat seperti Utik di
Kalimantan Barat, Keluru di Kerinci Jambi, Nanggala di Sulawesi,
Setulang di Kalimantan Timur, atau Loksado di Banjar Baru ingin
mempertahankan hutannya, malah kelihatan makin dipersulit?