Righteous Kill

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Quisque sed felis

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Etiam augue pede, molestie eget.

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit nisl in ...

Hellgate is back

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit. Quisque sed felis. Aliquam sit amet felis. Mauris semper, velit semper laoreet dictum, quam diam dictum urna, nec placerat elit ...

Post with links

This is the web2feel wordpress theme demo site. You have come here from our home page. Explore the Theme preview and inorder to RETURN to the web2feel home page CLICK ...

Latest Posts

Perjuangan masyarakat Desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin untuk mendapatkan pengakuan dan legalitas atas hutan adat desa mereka patut diacungi jempol. Sejak tahun 2003 dengan difasilitasi oleh KKI Warsi masyarakat yang hidup nyaris terisolasi dari kota Bangko ini terus berupaya supaya hutan adat mereka yang diberi nama Imbo pusako seluas 283 hektar dan imbo parabukalo dengan luas 366 hektar dengan 78 jenis tanaman obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat Batang Kibul, dapat segera dikukuhkan oleh Pemerintah Kabupaten Merangin.

Masyarakat desa yang berjarak sekitar 60 km arah Barat Daya Kota Bangko dengan kondisi jalan yang berlumpur dan cukup sulit ditempuh jika musim hujan ini terus berjuang supaya kawasan hutan yang menjadi penghasil air untuk mengairi persawahan mereka mendapat pengukuhan dari bupati Merangin.

“Masyarakat Batang Kibul hidup dari sektor pertanian, dengan menanam padi sawah, persawahan mereka diari dari sumber air yang berasal dari perbukitan hutan adat,”sebut koordinator program CBFM/Community Based Fores Manajement (pengelolaan hutan berbasis masyarakat) KKI Warsi Rahmad Hidayat.

Disebutkannya keterkaitan yang erat inilah yang menyebabkan masyuarakat Batang Kibul sangat bergantung pada kelestarian hutan meka. Supaya hak kelola dan kelestarian hutan tidak diganggu oleh pihak lain, baik berupa HPH, IPK ataupun transmigrasi. “Tanpa ada kekuatan hukum yang pasti masyarakat jelas akan sangat sulit untuk menghalangi pihak-pihak yang ingin mengkonversi atau mencegah pembalakan di hutan adat desa mereka,”tambah Rahmat.

Untuk itu, masyarakat Batang Kibul telah memenuhi persyaratan yang dibutuhkan untuk pengukuhan. Diantaranya adalah usulan masyarakat kepada Bupati Merangin, aturan pengelolaan kawasan yang disebut dengan ”Undang Adat”, yang mengatur pengelolaan Imbo Pasoko dan Imbo Parabokalo Masyarakat Hukum Adat Dusun Padang Lendir dan Dusun Lubuk Resam Desa Batang Kibul Kecamatan Tabir Ulu Kabupaten Merangin .  Selain itu masyarakat telah menetapkan kelompok yang bertanggungjawab untuk mengelola kawasan hutan adat tersebut. Selain itu juga telah dibuat peta partisipatif kawasan hutan adat yang dikerjakan oleh KKI Warsi bersama masyarakat. ”Hasil pemetaan ini telah disampaikan dan diakui oleh BPN dan Dinas kehutanan Merangin,”sebut Rahmad yang juga menjabat sebagai deputi direktur KKI Warsi.
[ Read More ]

Lomba Tulis YPHL  Terbukti Menang
Oleh : padli kurniawan
KabarIndonesia - Setelah dua kali naik pesawat dari Jakarta, empat jam menembus hutan Kalimantan, barulah bisa ditemui yang namanya hutan adat Sungai Utik. Didalamnya lengkap ada rumah panjae (panjang), sungai jernih dengan perahu kecil, suara satwa, tuak, babi, sawah, kebun, hutan luas dan orang-orang suku Dayak Iban. Asing sejenak rasanya, ketika aura itu tiba-tiba menyergap semua indra yang ada. Sebab teramat jauh berbeda dengan riuh perkotaan, yang rasa-rasanya belum lama ditinggalkan. Bersama Pak Bandi, atau dikenal sebagai Pak Janggut, Tetua Adat di rumah panjang itu saya mulai memahami sedikit-sedikit kondisi disana. Berawal dari beberapa nama asing khas bahasa Dayak Iban, hingga tata aturan tak tertulis yang ada disana. Setelah satu malam menginap, Pak Bandi yang memang memiliki janggut tipis tapi panjang mengajak melihat hutan adat. Enteng saja lelaki yang sudah penuh keriput itu bertelanjang kaki ke arah hutan. Kira-kira tiga kilometer berjalan, Pak janggut memutuskan membelok ke arah sungai kecil. Tak ada jembatan disana, tapi Pak Bandi dengan tangkas membuatnya. Dengan sedikit keseimbangan lewat sudah aral tersebut. Sekarang didepan kami terbentang hutan hijau bernuansa lembab. “Ini baru daerah hutan adat kami yang paling pinggir,” kata Pak Janggut, dengan logat Dayak, awal bulan Agustus 2008 lalu.Cukup kaget juga mendengar kata-kata pak Janggut, yang terus menerobos hutan tanpa jalur di depan kami. Pasalnya kondisi hutan yang disebut pinggiran ini saja sudah sedemikian lebatnya. Lalu bagaimana dengan wilayah intinya? Benar juga mungkin, hasil riset sekunder saya sebelum menjejak di hutan ini. Dari riset tersebut beberapa mengatakan kalau hutan adat di sungai Utik, merupakan salah satu hutan adat terbaik yang tersisa di bumi Indonesia saat ini. Pantas bila kemudian Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) memberikan anugrah sertifikasi ekolabel kepada pengurus hutan adat ini. Humus terasa tebal dan basah menutupi kaki. Sepatu yang dipakai sampai terasa lembab. Sementara lumut bertebaran disana-sini. Warna hijaunya memenuhi batang-batang akar yang mencuat, hingga ke batang besar pepohonan. Di salah satu batang pohon jelutung besar, Pak Bandi menancapkan mandau-nya. Dari cacat akibat bacokan mandau, terlihat getah putih meleleh. Turun merembes melewati daun-daun kecil disela lumut. “Hutan adalah sumur dunia. Dari hutan ada banyak air keluar, tanah juga terjaga. Tanpa tanah kita bukan apa-apa,” ujar Pak Janggut, menjelaskan mengapa mereka memilih menjaga hutan adat ketimbang menjualnya kepada pengusaha.
Sebuah keputusan yang tak terduga. Diantara era konsumerisme dan desakan ekonomi yang menggejala saat ini. Ada sekelompok orang lebih memilih menjaga hutan, menggunakan dan mengambil manfaat seperlunya saja. Dengan pilihannya, mereka rela harus dicibir atau diperlakukan tak normal. Seperti tak tergoyah dengan kepungan hutan adat lain yang terlanjur terjual, hutan adat sungai Utik tetap tak banyak berubah. Tercatat ada tiga perusahaan penebangan kayu kini mengepung kawasan adat mereka. Tiga perusahaan tersebut adalah PT Benua Indah, PT Bumi Raya Utami WI, dan PT Landjak Deras Jaya Raya. Perusahaan yang terakhir diklaim merupakan investasi oleh investor dari Malaysia, dan mengirimkan kayu-kayunya ke Malaysia. Seperti itu memang motif tentang pemanfaatan hutan yang ada sekarang. Tak pelak, kebanyakan kaum adat di Kalimantan juga goyah dengan iming-iming keuntungan jangka pendek bila mereka mau menjual hutannya. Uang cepat, yang kadang dijadikan solusi alasan kebutuhan mendesak bagian perut. Hutan adat memang terhitung miris keadaannya di Indonesia kini. Kebijakan yang tumpang tindih, mengakibatkan tak adanya pengakuan. Hutan adat seperti berdiri sendiri-sendiri, dipayungi dengan kebijakan pemerintah yang compang-camping disana-sini. Menurut studi Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia (YCHI), tahun 2003 lalu ditemukan banyak kasus HPH (Hak Pengusahaan Hutan) saat ini telah merambah tanah kawasan Adat. Hutan adat ini menurut pemerintah adalah hutan negara yang boleh diapakan saja oleh pemerintah, tanpa memandang: keberadaan tata guna lahan (land use) dan sistem penguasaan tanah (land tenure) yang telah dipakai masyarakat setempat secara turun temurun tanpa adanya konflik yang berarti. Data tersebut diperkuat dengan input dari Departemen Kehutanan tahun 2000 lalu. Paling tidak tercatat ada 652 HPH berada di wilayah adat. Luasan dari ratusan HPH tersebut mencapai 69,4 juta hektare. Hingga Januari 2000, dari berbagai kegiatan HPH tersebut diidentifikasi setidaknya 28 persen, atau sejumlah kira-kira 11,7 juta hektare hutan adat rusak. Kini menurut data citra satelit diperkirakan kawasan hutan tersebut telah menjadi tanah kosong atau rerimbunan semak belukar. Keuntungan jangka pendek memang didapat dari upaya pembukaan hutan tersebut. Kayu-kayu bisa dijual, atau berkembangnya industri pengolahan kayu disana. Namun secara jangka panjang pembukaan hutan tersebut sebenarnya menimbulkan kerugian. Seperti contoh kasus pohon Tengkawang (Shorea spp) di Utik. Pohon yang memiliki jenis kayu kelas tiga ini memiliki daun yang rimbun dan dahan yang banyak. Bila kayu pohon ini dijual dengan harga paling murah saat ini, bisa seharga Rp 1 juta perkubik. Kalau memang beruntung bisa jadi satu pohon menghasilkan kayu sebanyak setengah kubik. Berarti perlu empat pohon kayu untuk mendapatkan Rp 2 juta. Sementara bila mau pintar, sebenarnya buah dari pohon tersebut bisa dijual lebih mahal. Pohon yang sudah mulai berbuah biasanya pohon yang sudah berumur diatas 10 tahun. Jika pohon Tengkawang berbuah, satu buahnya bisa seberat satu bleg. Ukuran satu bleg setara dengan ukuran berat satu kaleng cat sedang. Berati bisa sekitar lima kilogram beratnya perbuah Harga satu kilo buah tersebut, kalau sudah dikeringkan atau dikupan kulitnya sekitar Rp 4000. Sementara buah yang masih dibilang basah, atau belum diproses justru lebih mahal, mencapai harga Rp 10.000 per kilo.
Untuk kawasan hutan adat seperti milik Dayak Utik, tiap keluarga bisa memiliki 5-10 pohon Tengkawang yang telah hidup puluhan tahun. Bila panen satu pohon bisa berbuah hingga 500 bleg. Berarti kalau memiliki 10 pohon, bisa mendapat 5000 bleg buah Tengkawang. Dengan jumlah sebanyak itu, ketimbang menjual kayu pohon dengan harga Rp 2 juta kemudian hilang begitu saja. Lebih baik menjual buah, dengan harga mencapai Rp 2 juta per 500 bleg, namun masih bisa dipanen lagi beberapa kali setelahnya. Contoh lainnya merupakan kekayaan tanaman obat dari hutan alami. Seperti hutan adat Keluru di Kabupaten Kerinci Jambi, yagn diperkirakan menyimpan ratusan bahkan ribuan jenis tanaman obat. Salah satunya merupakan obat gusi bengkak yang bisa disembuhkan dengan tanaman seduduk yagn berdaun runcing dan kecil. Biasanya daun Seduduk akan direbus, kemudian diminum airnya. Selain daun buah Seduduk juga bisa disantap. Biji dalam buah Seduduk yang berwarna merah akan terasa manis. Unik serta jarang juga bisa menyantap buah ini, sehingga harganya bisa dipastikan makin mahal. Selain Seduduk banyak jenis tumbuhan obat hidup di hutan adat Seluru. Seperti tanaman empedu kancil, yang bisa mencegah timbulnya malaria. Pohon ini memiliki biji berwarna hitam dan hijau, dengan batang berukuran satu meter. Daunnya biasanya kecil dengan bentuk persegi lima. Buah empedu kancil bisa langsung dikunyah sebagai obat. Namun jangan kaget dengan rasanya, yang sangat pahit sekali. Kalau orang kampung dekat hutan tersebut biasanya memakan buah dengan meminum air juga, agar hilang rasa pahitnya. Jenis tanaman obat lain adalah bunga gincu. Biasanya tumbuhan ini untuk mengobati luka. Ada juga jenis pohon sebu yang diambil akar dan keluaran lendir di dalam akar dimanfaatkan sebagai obat panas dalam. Sementara pohon Pua dimanfaatkan untuk obat penyakit disentri. Potensi lain yang bisa didapat dari hutan adat Keluru adalah wisata melihat bunga Bangkai atau Rafflesia, yang kadang tumbuh liar di kawasan hutan tersebut. Disamping terdapat juga beberapa jenis anggrek, kemiri dan kayu manis serta bambu. Mungkin berjuta-juta contoh lain bisa ditampilkan. Namun tetap saja, keadaan saat ini seperti terus mendesak orang, hanya memanfaatkan hutan secara jangka pendek. Semua pohon inginnya ditebang saja. Sementara manfaat lain, seperti buah, atau akar sebagai obat
[ Read More ]

Hutan Adat Keluru Simpan
Seribu Jenis Tanaman Obat




Jambi, 23 Mei 2003
Hutan adat Keluru  di Kabupaten Kerinci, Jambi, menyimpan ratusan bahkan seribu tanaman obat, disamping jenis tanaman lainnya yang bermanfaat bagi warga setempat. Salah satu jenis tanaman obat tersebut yaitu tanaman seduduk, berdaun runcing, kecil, digunakan untuk obat gusi bengkak.
Pengolahan daun seduduk ini yaitu dengan direbus lalu airnya diminum selama bengkak gusi menyusut hingga normal kembali. Selain daun, buahnya juga bisa disantap. Bentuknya juga kecil tapi menyerupai kelopak bunga, berwarna merah. Di dalam kelopak buah terkandung biji yang jika masanya untuk dikonsumsi akan muncul keluar. Bijinya inilah yang bisa dimakan dan rasanya manis.
Jumlah  tanaman obat yang mencapai seribuan itu,menurut Ketua BPD Desa Keluru, Ismet Mahmud, dalam mendampingi wartawan Sumbar, Jambi, dan Bengkulu, menjelajah ke dalam hutan adat Keluru, Kamis (23/5) berdasarkan hasil survei dari mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor) yang pernah meneliti ke sana belum lama ini.
Selain seduduk, juga terdapat tanaman empedu kancil untuk mencegah penyakit malaria. Bagian yang dimanfaatkan dari empedu kancil ini,bijinya yang berwarna hitam dan hijau,juga berukuran kecil seperti biji tanaman. Batangnya berukuran sampai satu meter, dengan  daun berbentuk persegi lima juga dalam ukuran kecil.
Buah empedu kancil ini bisa langsung dikunyah jika ingin mengkonsumsinya. Namun rasanya sangat pahit sekali. Sehingga warga setempat sering memakannya dengan dibantu air minum alias menelannya selayaknya tablet obat. Jenis tanaman obat lainnya yaitu bernama bunga gincu untuk mengobati luka. Kemudian ada juga pohon pua yang dihandalkan untuk disentri. Batang pohon pua ini diperas, diambil airnya,ada  pula pohon sebu yang dipotong akarnya,lendir akar ditampung untuk panas dalam. 



Berita terkait:
  • Minim, Dukungan Pemda Dalam Legalisasi Hutan Adat
  • Bupati Bungo Kukuhkan Hutan Adat & Lindung Desa
  • Setelah 5 Tahun Berjuang,
  • Wartawan Jambi Dan Sumbar
  • Cetuskan Perdes Warga Desa Guguk Harap Hutan Adatnya Terjaga Dan Lestari
  • Masyarakat Kibul Desak Bupati Kukuhkan Hutan Adat
  • Hutan Adat, Bentuk Implementasi Konsep Zonasi
  • Warga Desa Pancakarya Mulai Rintis Penguatan Imbo/lubuk Larangan
  • Hutan Adat Desa Lubuk Bedorong 


  • Potensi tanaman yang tak kalah besarnya di dalam kawasan hutan Keluru ini adalah pohon kayu pecat yang diperuntukan bagi pembuatan perabotan rumah tangga. Jenis pohon ini termasuk langka di Indonesia. Ciri kayunya berwarna-warni,seringkali dijadikan tongkat atau pernak-pernik lainnya oleh penduduk setempat untuk cenderamata bagi pengunjung yang datang hutan Keluru. Begitu juga dengan jenis tanaman langka lainnya, yaitu bunga Bangkai alias Raflesia.
    Disamping itu juga terdapat berjenis anggrek dalam hutan Keluru ini, begitu juga dengan tanaman kemiri dan kayu manis serta bambu. Ada ketentuan adat terhadap pengambilan hasil hutan Keluru ini, terutama terhadap warga yang ingin menebang kayu. Bagi perorangan,tindakan itu tidak dibenarkan. Kayu hanya boleh diambil jika ada pendirian bangunan untuk umum, misalnya sekolah atau mesjid. Jika ada perorangan warga yang mengambil kayu dijatuhi sanksi bertajuk Beras 100 Kerbau Seekor.
    Tepatnya jika ada salah seorang warga setempat yang menebang kayu,maka dia dikenai sanksi menyembelih seekor kambing. Dengan sanksi ini umumnya warga yang dimaksud tak akan berani berbuat lagi, begitu juga  dengan warga lain tak akan berani meniru. Perlindungan terhadap hutan Keluru juga diberlakukan pada jenis hewannya yang beragam,seperti kijang, babi, rusa, dan lainnya.
    Maka wajar kemudian hutan adat Keluru mendapat beberapa penghargaan berskala nasional terhadap upaya pemeliharaan hutan berluas 23 hektar oleh warganya ini. Warga setempat sendiri ekonominya bersandar pada hasil kebun mereka yang umumnya didominasi tanaman palawija. Hutan adat Keluru bisa dijadikan contoh pengelolaan hutan adat yang ideal oleh masyarakat.*** 

  •  
  • [ Read More ]